Powered by Blogger.

DEMOKRATISASI PEMILIHAN PRESIDEN

Bertepatan dengan dengan rubuhnya tembok kekuasaan rezim Orde Baru, mulai sejak timbulnya gelombang inspirasi ke arah reformasi menyeluruh dalam kehidupan kenegaraan kita, berkembang juga wacana yang mendorong pemikiran ke arah aplikasi sistim penentuan Presiden dengan cara segera. Masukan yang tumbuh serta berkembang menuntut di jalankannya penentuan Presiden dengan cara segera itu, pada hakikatnya, memperjuangkan inspirasi supaya rakyat yang berdaulat nyata-nyata sanggup memakai haknya untuk menentukan sendiri siapa yang bakal jadi Presiden.
Dalam negara demokrasi, penentuan mengenai siapa yang akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden merupakan sesuatu yang sangat penting bagi rakyat. Apalagi, dalam masyarakat Indonesia yang sebagian terbesar masih dipengaruhi oleh kultur yang paternalistik, figur atau ketokohan seorang merupakan sesuatu yang sangat penting dan menentukan derajat kepercayaan rakyat terhadap institusi pemerintahan secara keseluruhan. Karena itu, ada tidaknya perbaikan atau perubahan dalam tata cara menentukan siapa yang akan menjadi Presiden di negara kita, turut menentukan dan mempengaruhi persepsi masyarakat mengenai ada tidaknya perbaikan yang dihasilkan oleh pelaksanaan agenda reformasi nasional 3 tahun terakhir.



Bagi para ahli dan praktisi, puncuk simbolik perubahan sistem ketatanegaraan kita setidak-tidaknya berkaitan dengan dua hal, yaitu: konstitusi dan lembaga kepresidenan. UUD 1945 yang selama Orde Baru cenderung disakralkan, sekarang sudah mengalami proses desakralisasi melalui perubahan pertama yang dilakukan dalam Sidang Umum MPR pada bulan Nopember 1999 yang lalu[2]. Akan tetapi, bagi rakyat banyak, UUD 1945 itu merupakan simbol yang terlalu abstrak dan tak terjangkau. Yang lebih penting bagi rakyat banyak adalah sistem kepresidenan yang secara kasat mata dapat dilihat sendiri oleh mereka, baik mengenai kepribadiannya, intelektualitas dan kemampuan manajerialnya, serta ketulusan dan kinerja kepemimpinannya, yang dapat memberikan harapan dan optimisme, dan sekaligus mengundang kepercayaan dari seluruh rakyat untuk memberikan dukungan.



Sekarang figur Presiden memang sudah berganti. Akan tetapi, yang dibutuhkan bukanlah sekedar pergantian orang, melainkan perbaikan sistemnya sehingga seluruh lapisan dan golongan rakyat dapat benar-benar ikut terlibat dalam menjatuhkan pilihan. Oleh karena itu, proses demokratisasi yang tengah berlangsung luas sekarang ini, masih tetap dianggap sebagai masa transisi menuju demokrasi yang lebih sejati yang ditandai oleh perbaikan dalam sistem pengisian jabatan lembaga kepresidenan. Untuk sementara ini, rakyat memang masih menerima kenyataan bahwa untuk menentukan siapa yang akan menjadi Presiden, mereka cukup menonton melalui layar kaca, menyaksikan permainan politik para wakil mereka di MPR. Rakyat banyak harus menerima kenyataan bahwa mengenai siapa yang akan menjadi pemimpin mereka itu, cukup ditentukan oleh kalangan elite saja. Akan tetapi, semua itu haruslah dilihat sebagai masa transisi menuju penerapan demokrasi yang sejati, yang konkritnya secara simbolik dicerminkan oleh kesempatan bagi segenap rakyat untuk menentukan sendiri siapa yang akan menjadi Presiden.



Tidak lama sesudah Sidang Umum MPR selesai digelar pada bulan Nopember 1999, banyak orang awam bertanya mengapa kok Amin Rais yang terpilih menjadi Ketua MPR, padahal Partai Amanah Nasional yang dipimpinnya mendapat suara hanya sedikit dalam Pemilu dan hanya menempati posisi kelima dalam urutan perolehan suara, dan mengapa Gus Dur terpilih menjadi Presiden, padahal Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikannya hanya mendapat kedudukan nomor nomor empat dalam urutan perolehan suara, mengapa bukan Megawati yang jelas-jelas partainya mendapat kepercayaan paling besar dari rakyat. Jawabannya tentu sederhana, yaitu begitulah panggung demokrasi yang dipermainkan oleh elite politik. Karena itu, untuk masa mendatang, tidak semua keputusan yang sangat penting dapat diserahkan begitu saja kepada elite politik. Khusus untuk menentukan siapa pemimpin tertinggi untuk mengelola pemerintahan dan tugas-tugas pembangunan, sebaiknya, langsung ditentukan oleh rakyat sendiri, sehingga dapat dirasakan adanya perbaikan dari sistem yang berlaku sekarang. Untuk itulah, maka tahap menuju penerapan sistem pemilihan Presiden secara langsung, terus harus diperjuangkan, dan perangkat konstitusional untuk penerapan sistem pemilihan langsung itu harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.



Memang, sering dikemukakan adanya argumen bahwa untuk menerapkan sistem pemilihan langsung itu, dibutuhkan persiapan sosial. Misalnya, dipersoalkan sejauhmana rakyat Indonesia di seluruh tanah air benar-benar siap, mengingat tingkat pendidikan yang masih rendah, tingkat kohesi sosial yang dianggap masih sangat rentan, dan kultur perbedaan yang belum berkembang. Penerapan sistem pemilihan langsung dikhawatirkan justru akan memicu disintegrasi sosial yang luas. Argumen seperti ini jelas sangat merendahkan dan tidak menghargai rakyat sendiri yang sebenarnya justru merupakan pemilik kedaulatan yang sah di negaranya sendiri. Sejak dulu, argumen seperti juga sering dipakai orang untuk menolak ide penerapan sistem distrik dalam pemilihan umum. Sungguh kasihan rakyat kita terus menerus dianggap tidak mampu, meskipun kita telah merdeka lebih dari setengah abad.



Di banyak negara, termasuk di Malaysia yang serumpun dengan bangsa Indonesia, sistem distrik dalam pemilu juga diterapkan dengan baik. Melalui sistem distrik ini, rakyat secara langsung memilih sendiri tokoh yang dipercayai untuk menjadi wakil mereka di parlemen[3]. Atas dasar logika sistem ini, maka sistem pemilihan Presiden secara langsung dapat kita terapkan di Indonesia, sekurang-kurangnya mendekati sistem pemilihan langsung. Di Amerika Serikat, misalnya, rakyat memilih ‘electoral college’ yang secara khusus dipilih untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Sistem ini dimaksudkan untuk efisiensi atau menyederhanakan dan memudahkan pelaksanaan pengambilan suara dan penghitungan suara.



Memang perlu dipersiapkan bahwa perubahan ke arah pemilihan Presiden secara langsung itu harus dilakukan dengan mempertimbangkan banyak aspek yang terkait. Pertama, perubahan sistem itu membawa implikasi yang mendasar terhadap sistem pertanggungjawaban Presiden. Kedua, dengan perubahan sistem pertanggungjawaban itu, maka keberadaan GBHN sebagaimana dipahami selama ini terpaksa harus mengalami penyesuaian pula. Ketiga, penerapan sistem pemilihan Presiden itu dikhawatirkan pula oleh sebagaian orang akan mempengaruhi secara mendasar mengenai perumusan tugas dan fungsi MPR sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat dan sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Bahkan, hakikat dan eksistensi MPR itu sendiri sebagai Lembaga Tertinggi Negara yang merupakan penjelmaan kedaulatan seluruh rakyat Indonesia, dikhawatirkan akan terpaksa hilang dari sistem dan struktur ketatanegaraan Republik Indonesia.
PEMILIHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MASA DEPAN



Mesti diakui tak kebanyakan orang sepakat dengan inspirasi penentuan Presiden dengan cara segera. Keberatan pertama yg umum di cemaskan yaitu kesiapan mental penduduk kita yg di anggap belum masak buat nikmati peluang beradu dengan cara terbuka buat mempromosikan serta menentukan sendiri calon idamannya, dan bersiap buat menang dengan cara santun serta beradab mau pun buat kalah dengan cara jantan serta terhormat. Menurut pandangan ini, proses penentuan segera butuh disiapkan dengan cara gradual. Warga kita saat ini tetap ada dalam kondisi krisis dengan tingkat kohesi yg amat rendah serta rawan sekali pada isu-isu disintegratif. Hambatan atau keberatan yg bersifatsosio-kultural ini kerap jadikan argumen buat menampik gagasan penentuan segera. Karenanya, proses penentuan segera itu baiknya baru di mulai paling cepat pada pemilu th. 2008 yg akan tiba. Di samping itu, menurut pandangan ini, semua feature yg diperlukan buat proses penentuan segera butuh disiapkan lebih dahulu, serta kemudian tetap wajib disosialisasikan dengan cara luas hingga rakyat banyak mengetahui benar sistem proses penentuan Presiden dengan cara segera itu.



Seluruhnya alasan sosio-kulutral yg bernada pesimistis seperti ini pada pokoknya mendasarkan diri pada anggapan yg amat negatif. Rakyat tetap diibaratkan tak sanggup berlaku demokratis. Sepanjang Orde Baru, sikap negatif seperti inilah yg tetap di kembangkan, makanya ide-ide seperti penentuan umum dengan system distrik tetap tidak sukses ditempatkan dalam praktik. Walaupun sebenarnya, Pemilu 1955 sanggup di katakan berhasil berikan peluang pada rakyat buat menentukan tokoh-tokoh seperti dalam penentuan segera. Karenanya, dalam rencana reformasi saat ini, sikap negatif seperti itu wajib dirubah jadi positif. Misalnya tetap di anggap tak sanggup, maka tidak lagi sempat ada peluang untuk rakyat buat belajar jadi sanggup. Asumsi-asumsi pesimistis seperti ini bahkan beri warna ramalan-ramalan beberapa ahli berkaitan proses Pemilu th. 1999 yg lalu yg digambarkan ‘pasti’ dapat berdarah. Namun, nyata-nyatanya seluruhnya ramalan itu tak dapat dibuktikan, dikarenakan benar-benar rakyat nyata nya siap buat dengan cara aktif berdemokrasi. Bahkan juga tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu 1999 sanggup di katakan amat tinggi seandainya ketimbang dengan kegalauan yg berkembang diawal mulanya di kelompok beberapa peramal pesimistis itu.



Pesimisme sosio-kultural ini bisa diperkuat oleh ketakutan bahwasanya penentuan segera itu dapat menambah suhu konflik dalam penduduk, baik di kota-kota ataupun lebih-lebih di desa-desa sbg gara-gara persaingan buat menokohkan calon-calon presiden yg berlainan di kelompok penduduk. Lebih-lebih, beberapa besar penduduk kita hidup di daerah perdesaan yg amat luas serta bahkan juga banyak salah satunya yg ada di pelosok-pelosok pulau yg gampang dimanipulasikan oleh elite. Pada keberatan seperti, benar-benar bisa pula ditempuh jalan tengah, yakni dengan mengaplikasikan system Amerika Serikat lewat penentuan oleh ‘electoral college’ yg terus mengesankan sistem penentuan yg berbentuk segera. Sebab itu, yg di pilih segera oleh rakyat tidaklah calon Presiden, akan tetapi cukup anggota Dewan Pemilih saja yg didapatinya sbg kampanyewan satu diantara calon Presiden.



Proses penentuan anggota dewan ini, sanggup diselenggarakan bertepatan waktunya dengan penentuan umum buat menentukan anggota DPR/MPR serta DPRD. Semisal, tergantung bahwasanya anggota ‘Dewan Pemilih Presiden’ itu sejumlah 100 orang anggota yg dipusatkan di tiap tiap ibukota kabupaten serta kotamadya. Bila, contohnya, jumlah ibukota kabupaten serta kotamadya di semua Indonesia ada 350, maka 350 x 100 = 35. 000 orang pemilih. Namun demikian, perhitungan pada bagian penentuan Presiden serta Wakil Presiden tak dihitung dengan cara seimbang, tetapi menurut jumlah daerah dewan penentuan yang bisa dimenangkan oleh calon Presiden. Penentuan oleh Dewan Pemilih sanggup diselenggarakan serentak di semua ibukota kabupaten serta kotamadya, contohnya, sekian hari sehabis penentuan umum selesai akan tetapi sebelum akan hasil Penentuan Umum buat isi keanggotaan DPR/MPR serta DPRD usai dihitung. Sebab itu, perhitungan hasil Pemilu tidak lagi memengaruhi sistem penentuan Presiden serta Wakil Presiden oleh beberapa anggota Dewan Pemilih.



Keberatan ke dua yaitu keberatan yg bersifatsosial-ekonomis, dengan mengaitkan proses penentuan segera dengan ongkos yg mahal. Walaupun sebenarnya, situasi kehidupan rakyat yg tetap diliputi ada problem dikarenakan oleh siuasi krisis ekonomi yg hingga saat ini belum juga sembuh seutuhnya. Tetapi sekian, memang, proses penentuan Presiden serta Wakil Presiden, baik dengan cara segera ataupun lewat ‘dewan pemilih’ sanggup dijalankan bertepatan dengan Penentuan Umum buat menentukan anggota DPR/MPR seperti yg di jabarkan diatas. Sebab itu, keberatan ke dua ini dapat dipecahkan tiada banyak ada problem. Biarpun yg di pilih yaitu penentuan lewat dewan pemilih, pelaksanaannya di tingkat ibukota kabupaten serta kotamadya juga tidaklah susah serta mengonsumsi terlampau banyak ongkos. Lebih-lebih, buat bangun system kepemimpinan yg betul-betul beroleh keyakinan rakyat, berasa tidaklah pas buat membuat penambahan ongkos yg cuma sedikit sbg rintangan yg terlampau dibesar-besarkan serta halangi kesungguhan kita mengaplikasikan system demokrasi yg sejati.



Keberatan ketiga bersangkutan dengan ketakutan orang pada kemungkinan terpilihnya seseorang tokoh yg di anggap tak penuhi ketentuan kualitatif akan tetapi konon miliki karisma mengagumkan di mata rakyat biasanya. Misalnya system yg ditempatkan yaitu penentuan segera, dikhawatirkan tokoh seperti tersebut yg malahan dapat dipilih. Pandangan ini sanggup dinilai amat ‘defensif’ serta terlampau dihinggapi oleh perasaan ‘inferiority complex’ yg terlalu berlebih. Hasil proses penentuan umum yg lalu malahan sanggup ditafsirkan sebaliknya bahwasanya tokoh yg ditakutkan itu tambah tak memperoleh nada sebagian besar mutlak sbg prasyarat yg objektif buat memperlihatkan tingkat support segera dari rakyat. Lebih-lebih dalam pemilu yg akan tiba, posisi psikologis tokoh-tokoh mungkin buat duduki jabatan Presiden lain waktu telah alami pergantian mendasar. Seluruhnya tokoh-tokoh utama yg jaman sekarang ada diatas panggung politik lagi tengah hadapi ujian berat dihadapan rakyat dengan kemungkinan merubah peta support itu dalam penentuan umum yg akan tiba.



Keberatan ke empat menyangkut keperluan politis elite partai politik atau elite penduduk yg terasa tak pasti berkaitan tingkat support penduduknya sendiri. Banyak diantara beberapa tokoh politik menampik mau pun mengusahakan menghindar dari kemungkinan diberlakukannya mekanisme penentuan segera dikarenakan perasaan tak aman mau pun dikarenakan didorong oleh keperluan buat mengamankan posisinya sendiri. Saya menduga tokoh-tokoh seperti ini amat banyak jumlahnya, yg cuma sanggup ‘survive’ lewat mekanisme permainan politik yg berbentuk elitis. Dalam pandangan ini system penentuan oleh MPR saat ini telah baik serta demokratis, makanya tak perlu dirubah dengan mekanisme baru yg belum semestinya tambah baik

0 comments