Powered by Blogger.

Perihal permasalahan penegak hukum kebiasaan Indonesia, ini nyata amat prinsipil dikarenakan kebiasaan adalah di antara cermin untuk bangsa, kebiasaan merupkan ciri-ciri untuk bangsa, serta ciri-ciri untuk tiap tiap daerah. Dalam persoalan sala satu kebiasaan suku Nuaulu yg terdapat di daerah Maluku Tengah, ini perlu kajian kebiasaan yg sangatlah mendetail lagi, permasalahan selanjutnya merupakan ketika ritu
al kebiasaan suku itu, di mana sistem kebiasaan itu perlu kepala manusia sbg alat atau prangkat sistem ritual kebiasaan suku Nuaulu itu. Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sesaat dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman No 4 th. 2004. dalam Pasal 28 hakim mesti lihat atau pelajari tradisi atau kebiasaan setempat dalam menjatuhan putusan pidana pada persoalan yg bersangkutan dengan kebiasaan setempat.
Dalam kerangka proses Hukum Tanah Nasional serta karena tuntutan orang-orang kebiasaan maka pada tanggal 24 Juni 1999, sudah diterbitkan Aturan Menteri Negara Agraria/Kepala Tubuh Pertanahan Nasional No. 5 Th. 1999 berkenaan Arahan Penyelesaian Permasalahan Hak Ulayat Penduduk Hukum Rutinitas. 
Aturan ini bertujuan untuk sediakan pijakan dalam penataan serta pengambilan kebijaksanaan operasional bagian pertanahan dan beberapa langkah penyelesaian permasalahan yg menyangkut tanah ulayat. 
Aturan ini berisi kebijaksanaan yg memperjelas prinsip pernyataan pada “hak ulayat serta hak-hak yg sama itu dari orang-orang hukum adat” sama seperti bertujuan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan itu mencakup : 
1. Penyamaan persepsi tentang “hak ulayat” (Pasal 1) 
2. Kriteria serta penentuan tetap ada hak ulayat serta hak-hak yg sama dari orang-orang hukum kebiasaan (Pasal 2 serta 5). 
3. Kewenangan orang-orang hukum kebiasaan pada tanah ulayatnya (Pasal 3 serta 4) 
Indonesia adalah negara yg berpedoman pluralitas dibidang hukum, di mana diakui kehadiran hukum barat, hukum agama serta hukum kebiasaan. Dalam prakteknya (deskritif) beberapa orang-orang tetap memanfaatkan hukum kebiasaan untuk mengelola ketertiban di lingkungannya. 
Di tinjau dengan cara preskripsi (di mana hukum kebiasaan jadikan landasan dalam mengambil keputusan ketentuan atau aturan perundangan), dengan cara resmi, diakui keberadaaanya tetapi dibatasi dalam peranannya. Sebagian semisal berkenaan merupakan UU di sektor agraria No. 5/1960 yg mengaku kehadiran hukum kebiasaan dalam kepemilikan tanah. 
Biaya demokrasi rupanya mahal. Penentuan presiden serta dewan lewat partai jadi beban sendiri untuk membuat demokrasi. Alih-alih membuat negara yg kuat, biaya demokrasi yg mahal tambah menyuburkan praktek korupsidan intervensi pada BUMN. 
Koordinator Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Sunaryanto menyampaikan sistem politik demokrasi di Indonesia perlu banyak cost. Dia mencontohkan, untuk jadi calon legislatif ataupun yg sudah menjabat di satu partai, mesti menyetor beberapa duit untuk keperluan partai. 
" Sistim politik kita tetap mahal. Parpol jual nominasi untuk jadi akan calon. Sehabis jadi anggota mereka mesti berikan setoran serta iuran. Jadi lebih besar iurannya, jadi tambah besar mereka di partai, " ungkap Sunaryanto di seminar nasional 'BUMN serta Kampanye AntiKorupsi' di Gedung Pada, Jakarta, Selasa (11/12). 
Oleh karena ada keharusan untuk menyumbangkan beberapa duit yang penting dibayarkan ke partai itu, buat seorang mencari jalan cepat untuk memperoleh duit itu. Diantaranya yakni dengan meminta jatah serta intervensi terhadap BUMN. 

Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen).
Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini. Menurutnya daerah di Nusantara menurut hukum adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut:
1.       Aceh
2.      Gayo dan Batak
3.      Nias dan sekitarnya
4.      Minangkabau
5.      Mentawai
6.      Sumatra Selatan
7.      Enggano
8.      Melayu
9.      Bangka dan Belitung
10.   Kalimantan (Dayak)
11.    Sangihe-Talaud
12.   Gorontalo
13.   Toraja
14.   Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar)
15.   Maluku Utara
16.   Maluku Ambon
17.   Maluku Tenggara
18.   Papua
19.   Nusa Tenggara dan Timor
20.  Bali dan Lombok
21.   Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran)
22.  Jawa Mataraman

23.  Jawa Barat (Sunda)

Hukum Adat Di Indonesia

Posted by Unknown | 16:10

Hukum tradisi yaitu system hukum yang di kenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia serta negara-negara Asia yang lain seperti Jepang, India, serta Tiongkok. Sumbernya yaitu aturan-peraturan hukum tak terdaftar yang tumbuh serta berkembang serta dipertahankan dengan kesadaran hukum orang-orangnya. Lantaran aturan-peraturan ini tak terdaftar serta tumbuh kembang, maka hukum tradisi miliki kekuatan beradaptasi serta elastis. 
Hukum tradisi di Indonesia 
Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, system hukum tradisi dibagi dalam tiga grup, yakni : 
1. Hukum Tradisi tentang tata negara 
2. Hukum Tradisi tentang warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan). 
3. Hukum Tradisi menganai delik (hukum pidana). 
Makna Hukum Tradisi pertama kali dikenalkan dengan cara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck Hurgronje, Lantas pada th. 1893, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul “De Atjehers” menuturkan makna hukum tradisi buat “adat recht” (bhs Belanda) yakni untuk berikan nama pada satu system pingindalian sosial (social control) yang hidup dalam Orang-orang Indonesia. 

Penegak hukum adat 
Penegak hukum kebiasaan merupakan pemuka kebiasaan sbg pemimpin yg benar-benar disegani serta besar pengaruhnya dalam lingkungan warga kebiasaan untuk memelihara keutuhan hidup sejahtera. 
Beragam Hukum Adat 
Hukum Tradisi tidak serupa di tiap tiap daerah lantaran pengaruh 
1. Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dll. Contohnya : di Pulau Jawa serta Bali di pengaruhi agama Hindu, Di Aceh di pengaruhi Agama Islam, Di Ambon serta Maluku di pengaruhi agama Kristen. 
2. Kerajaan seperti diantaranya : Sriwijaya, Airlangga, Majapahit. 
3. Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa. 

Proklamasi’45 yaitu statement kemerdekaan yang disebut pernyataan sikap bangsa Indonesia yg ditujukan terhadap semua rakyat Indonesia atau terhadap semua penduduk dunia bahwasanya kita “telah merdeka” dari penjajahan bangsa asing sejak mulai tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi’45 yaitu pintu gerbang kemerdekaan Indonesia sekalian terbentuknya Negara Republik Indonesia, dengan letakkan PANCASILA buat basic Negara Republik Indonesia. Adapun dibentuknya Negara Indonesia dengan 2 (dua) maksud, yakni maksud negara ke dalam serta maksud negara ke luar. Buat maksud negara ke dalam yakn
i ditujukan terhadap sesama bangsa Indonesia, yaitu buat : 1). “melindungi segala bangsa Indonesia serta segala tumpah darah Indonesia” ; 2). “memajukan kesejahteraan umum” ; 3). “mencerdaskan kehidupan bangsa” ; sedang maksud negara Indonesia ke luar, yg ditujukan terhadap penduduk dunia, yaitu buat, “ikut melakukan ketertiban dunia berdasar kemerdekaan, perdamaian kekal serta keadilan sosial” ;

Akan tetapi buat melakukan maksud negara Indonesia ke dalam, seperti membuat perlindungan segala bangsa indonesia serta segala tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan kehidupan bangsa cuma dapat dijalankan lewat Penegakan Hukum Yg Baik. Tiada terdapatnya Sumber Daya Manusia (SDM) yg baik dalam penegakan hukum (Law Enforcement) serta terdapatnya kesadaran semua rakyat bangsa Indonesia selalu untuk patuh dengan hukum, maka kemungkinannya kecil maksud negara Indonesia sanggup terwujud. Kemungkinan kecil seluruhnya program pembangunan yg dicanangkan oleh pihak pemerintah yg punya tujuan wujudkan maksud negara seperti dijelaskan diatas bakal sukses tiada terjaminnya penegakan hukum yg baik dan terdapatnya kepastian hukum di Indonesia. Bahkan juga pembangunan condong berefek sebaliknya, yakni jadikan bangsa serta rakyat Indonesia ini jadi miskin serta sengsara. Kenyataan ini bertolak belakang dengan fakta yg ada, di mana Indonesia di kenal buat suatu negara dengan Sumber Daya Alam (SDA) yg melimpah, akan tetapi rakyatnya miskin ditengah-tengah kekayaannya. Ironis!! 

Pada saat sebelum saat terbentuknya Negara, tiap tiap individu miliki kebebasan penuh utnuk melakukan hasratnya. Dalam situasi di mana manusia didunia tetap sedikit hal tersebut isa berjalan namun dengan semakin banyak manusia bermakna bakal jadi lebih kerap berlangsung persinggungan serta bentrokan pada individu satu dengan yang lain.. Mengakibatkan seperti kata Thomas Hobbes (1642) manusia seperti serigala pada manusia yang lain (homo hominilopus) berlaku hokum rimba yakni terdapatnya penindasan yang kuat pada yang lemah semasing terasa ketakutan serta terasa tdk aman didalam kehidupannya. Ketika tersebut manusia rasakan pentingnya ada satu kekuasaan yang mengatur kehidupan individu-individu di suatu Negara. 
Persoalan warganegara serta engara butuh dikaji lebih jauh, mengingat demokrasi yang pengen ditegakkan merupakan demokrasi berdasar Pancasila. Faktor yang terkandugn dalam demokrasi Pancasila diantaranya yaitu terdapatnya peraturan yang mengikat Negara serta warganegara dalam melakukan tindakan serta mengadakan hak serta keharusan dan wewenangnya. Dengan cara material yaitu mengaku harkat serta marabat manusia untuk mahluk Tuhan, yang inginkan pemerintahan untuk membahagiakannya, serta memanusiakan waganegara dalam warga Negara serta warga bangsa-bangsa. 
Saat sebelum mendalami perihal negara, bangsa, warga negara serta masyarakat, kita butuh tau lebih dahulu pengertian perihal negara, bangsa, warga negara serta masyarakat biar tdk berlangsung kesalah pahaman perihal negara, bangsa, warga negara serta masyarakat. Pengertiannya mampu di uraikan seperti berikut : 
Negara yaitu sutu organisasi dari rangkaian atau sekelompok manusia yang bersama tempati satu lokasi khusus serta mengaku terdapatnya satu pemerintahan yang mengatur tata tertata dan keselamatan rangkaian atau sekelompok manusia itu untuk meraih arah bersama-sama dalam suatu konstitusi yang di junjung tinggi ole warga negara itu. Di dalam satu negara ada system pemerintahan yang mengatur ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanankeamanan, danlain sebagainya. Di dalam suatunegaraminimaltedapatunsur-unsurnegara seperti : Rakyat, Lokasi, Pemerintah yang berdaulat, Dan pernyataan serta negara lain 
Kewarganegaraan menjadi keanggotaan seorang dalam grup politik khusus (dengan cara teristimewa : negara) yang dengannya membawa hak untuk ikut serta dalam kesibukan politik. Seorang dengan keanggotaan yang sekian dimaksud warga negara. Seseorang warga negara memiliki hak punyai paspor dari negara yang dianggotainya. 
Warga negara yaitu individu yang punyai basic hukum dari satu negara yang diputuskan berdasar aturan perundang-undangan. Semisal : Warga negara : Masyarakat, Yg bukan hanya warga negara : pendatang kesutu negar seperti turis, pendatang, etc. 
A. Semisal Hak Warga Negara Indonesia 
1. Tiap-tiap warga negara memiliki hak memperoleh perlindungan hukum 
2. Tiap-tiap warga negara memiliki hak atas pekerjaan serta penghidupan yang layak 
3. Tiap-tiap warga negara punyai kedudukan yang sama di mata hukum serta didalam pemerintahan 
4. Tiap-tiap warga negara bebas untuk pilih, memeluk serta mobilisasi agama serta keyakinan semasing yang dipercayai 
5. Tiap-tiap warga negara memiliki hak beroleh pendidikan serta pengajaran 
6. Tiap-tiap warga negara memiliki hak menjaga lokasi negara kesatuan Indonesia atau nkri dari serangan musuh 
7. Tiap-tiap warga negara punyai hak sama dalam kemerdekaan berserikat, berkumpul keluarkan pendapat dengan cara lisan serta tulisan sama sesuai undang-undang yang berlaku 
B. Semisal Keharusan Warga Negara Indonesia 
1. Tiap-tiap warga negara punyai keharusan untuk ikut serta dalam membela, menjaga kedaulatan negara indonesia dari serangan musuh 
2. Tiap-tiap warga negara kudu membayar pajak serta retribusi yang udah diputuskan oleh pemerintah pusat serta pemerintah daerah (pemda) 
3. Tiap-tiap warga negara kudu mentaati dan menjunjung tinggi basic negara, hukum serta pemerintahan tiada kecuali, dan dikerjakan dengan sebaik-baiknya 
4. Tiap-tiap warga negara berkewajiban taat, tunduk serta patuh pada semua hukum yang berlaku di lokasi negara indonesia 
5. Tiap-tiap warga negara kudu ikut serta dalam pembangunan untuk bangun bangsa biar bangsa kita dapat berkembang serta maju ke arah yang tambah baik. 
Menurut Undang-Undang Basic 1945 pada pasal 30 terdaftar bahwasanya " Tiap tiap warga negara memiliki hak serta kudu turut serta dalam usaha pembelaan negara. " serta " Beberapa syarat perihal pembelaan dirapikan dengan undang-undang. 
Jadi, bangsa indonesia merupakan rangkaian manusia yang miliki keperluan yang sama serta mengatakan dianya sendiri untuk satu bangsa dan berproses di dalam satu lokasi Nusantara/Indonesia. 
Diindonesia sistem menegara udah di awali sejak mulai proklamasi 17 Agustus 1945, serta terjadinya negara indonesia menjadi satu sistem atau rangkaian tahapnyayang berkaitan. 
Sebab itu, sekalipun pemerintah belum terbentuk bahkan juga hukum dasarnya-pun belum disahkan, bangsa indonesia berpikiran bahwasanya Negara Republik Indonesia udah ada sejak mulai kemerdekaannya diproklamasikan. 
Lantaran Nagara Kesatuan Republik Indonesia yaitu negara yang secara prinsip mensyaratkan terdapatnya lokasi, pemerintahan, masyarakat untuk warga negara, serta pernyataan dari negara-negara lain udah di penuhi oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia miliki kedudukan serta keharusan yang sama juga dengan negara-negara lain di dunia, yakni turut serta pelihara serta merawat perdamaina dunia dikarenakan kehidupan di negara kesatuan Republik Indonesia tdk mampu terputus dari pengruh kehidupan dunia internasional (global). 

Nasionalisme Indonesia diutamakan buat menahan biar nasionalisme etnis, atau nasionalisme agama, atau nasionalisme geografis tak berkembang jadi kapabilitas yangal Ika) Negara Indonesia didalam wawasan nusantara, yg mengakomodir ketergantungan global. 

Tetapi nasionalisme sejenis itupun amat sukar di bangun apabila sistim sosial, sistim hukum serta sistim pemerintahan sudah terkontaminasi dengan budaya korup yg tidak mampu di hindari. Sepanjang Orde Baru, sistim politik atau susunan kekuasaan sudah terlalu mungkin merajalelanya korupsi besar-besaran di semua sektor. 

Korupsi yg “membudaya” ini sudah membikin rusaknya-kerusakan kritis bahkan juga hingga pada budaya perilaku orang-orang susunan bawah yg melihat korupsi untuk sisi dari sistim sosial, politik, ekonomi, hukum serta pemerintahan. Sekalipun dalam undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimulai dengan UU No. 31 th. 1999 Jo. UU No. 20 th. 2001 yg dalam pertimbangannya sudah menegaskan bahwasanya “akibat tindak pidana korupsi yg berjalan sampai kini tidak cuman merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghabat perkembangan serta keberlangsungan pembangunan nasional yg menuntut efisiensi tinggi”. Korupsi tidak sekedar semata-mata menyebabkan kerusakan keuangan serta perekonomian negara, walau demikian menyebabkan kerusakan semua sendi-sendi kehidupan orang-orang, bangsa serta negara yg berdaulat. 

Menyongsong sumpah pemuda 28 Oktober 2010 ini, kita perlu faham nasionalisme yg baru atau faham Nasionalisme yg ke-II, di mana Nasionalisme yg baru ini betul-betul berkiblat pada : 

1). faham Bhineka Tunggal Ika, lantaran mustahil ada persatuan apabila orang-orangnya kita tak sanggup jadi orang yg tidak serupa dengan orang lain atau tak sanggup menangani ketidaksamaannya ; 

2). Terbangunnya sikap berbarengan bagaimana Korupsi Perlu diberantas selesai lantaran bertentangan dengan pembangunan nasional disegala sektor ; serta 

3). Terbangunnya sikap tiap-tiap warganegara Indonesia berkenaan kewajiban menjaga keutuhan bangsa serta negara Indonesia yg mengerti wawasan nusantara untuk satu kesatuan yg integral dari : Ideologi, ekonomi, politik, sosial, budaya, agama, pertahanan serta keamanan nasional. 

Nasionalisme tak kan sempat dipunyai oleh seseorang Koruptor, lantaran Koruptor yaitu parasit negara yg menyengsarakan kehidupan rakyat serta membangkrutkan negara jadi hancur. Dari dulu kita telah sama tahu bahwasanya pemicu utama terjadinya tindak pidana korupsi yaitu : 

1) Ada unsur " Rangsangan " hal tersebut bersangkutan dengan rendahnya iman serta taqwa yg dipunyai oleh beberapa penyelenggara negara serta pihak lain yg terlibat meguasai keuangan negara ; 

2) Ada unsur " Peluang ", hal tersebut bersangkutan dengan rendahnya unsur " Pengawasan " dalam managemen pengelolaan keuangan negara ; 

Orang mustahil pengin korupsi apabila ia tak terangsang serta tiada peluang karenanya. Obsesi korupsi pasti diakibatkan : 

1. Gaya hidup yg bahagia pamer ; 
2. Terasa banyak duit bakal dihargai orang ; 
3. Buat membiayai proyek mencari kekuasaan ; 
4. Buat biaya gengsi sosial yg terlanjur tinggi ; 
5. Buat modal usaha untuk jaminan hari tua ; 
6. Terpaksa buat membiayai kepentingan pokok yg menekan, seperti  biaya sekolah anak,  biaya penyembuhan keluarga yg sakit ; 
7. Dan seterusnya. 

Penduduk Indonesia yg berpedoman ekonomi pasar serta neo liberalisme tak mampu jauhi terjangkitnya gaya hidup modern yg perlu  biaya yg tinggi, sesaat pendapatan serta daya belinya yg rendah, maka tak mampu jauhi dari rangsangan buat korupsi, lebih-lebih Iman serta Taqwa beberapa besar orang-orang kita amat diragukan. Saat ini pengin diberantas dari lokasi mana wahai petinggi2 beberapa elite pemerintah serta elite politik di negeri ini...???!! 

Ada dua pendapat berkenaan asal kata etika ini. Disatu pihak ada yang menjelaskan bahwaadat di ambil dari bhs Arab yang artinya adat. Sedang menurut Prof. Amura, makna ini datang dari Bhs Sanskerta lantaran menurut dia makna ini udah digunakan oleh orang Minangkabau kira-kira 2000 th. yang lalu. Menurut dia etika datang dari dua kata, a serta dato. A artinya tak serta dato artinya suatu hal yang berwujud kebendaan.
Hukum Kebiasaan dikemukakan pertama kali oleh Prof. Snouck Hurgrounje seseorang Pakar Sastra Timur dari Belanda (1894). Sebelum saat makna Hukum Kebiasaan berkembang, dahulu di kenal istilahAdat Recht. Prof. Snouck Hurgrounje dalam bukunya de atjehers (Aceh) pada th. 1893-1894 menjelaskan hukum rakyat Indonesia yg tidak dikodifikasi yaitu de atjehers.
Lalu makna ini digunakan juga oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, seseorang Sarjana Sastra yang juga Sarjana Hukum yang juga menjabat buat Guru Besar pada Kampus Leiden di Belanda. Ia berisi makna Kebiasaan Recht dalam bukunya yang berjudul Kebiasaan Recht van Nederlandsch Indie (Hukum Kebiasaan Hindia Belanda) pada th. 1901-1933.
Perundang-undangan di Hindia Belanda dengan cara resmi mempergunakan makna ini pada th. 1929 dalam Indische Staatsregeling (Aturan Hukum Negeri Belanda), sejenis Undang Undang Basic Hindia Belanda, pada pasal 134 ayat (2) yang berlaku pada th. 1929.
Dalam warga Indonesia, makna hukum etika tak di kenal terdapatnya. Hilman Hadikusuma mengemukakan bahwasanya makna itu semata-mata makna tehnis saja. Di katakan demikianlah lantaran makna itu cuma tumbuh serta di kembangkan oleh beberapa pakar hukum dalam rencana mengulas hukum yang berlaku dalam warga Indonesia yang selanjutnya di kembangkan ke dalam satu sistim keilmuan.
Dalam bhs Inggris di kenal juga makna Kebiasaan Law, tetapi perubahan yang ada di Indonesia sendiri cuma di kenal makna Kebiasaan saja, untuk mengatakan suatu sistim hukum yang dalam dunia ilmiah di sebutkan Hukum Kebiasaan. Pendapat ini diperkuat dengan pendapat dari Muhammad Rasyid Maggis Dato Radjoe Penghoeloe seperti dikutif oleh Prof. Amura : buat kelanjutan kesempuranaan hidupm sepanjang kemakmuran berlebih-lebihan lantaran masyarakat sedikit bimbang dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah, sampailah manusia terhadap etika.
Sedang pendapat Prof. Nasroe menjelaskan bahwasanya etika Minangkabau udah dipunyai oleh mereka sebelum saat bangsa Hindu datang ke Indonesia dalam era ke setahun masehi.
Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S. H. didalam bukunya mengemukakan bahwasanya makna Hukum Kebiasaan udah digunakan seseorang Ulama Aceh1 yang bernama Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani (Aceh Besar) pada th. 1630. 2 Prof. A. Hasymi menjelaskan bahwasanya buku itu (karangan Syekh Jalaluddin) adalah buku yang punya satu nilai tinggi dalam sektor hukum yang baik.
Menurut Kamus Besar Bhs Indonesia, etika yaitu peraturan (perbuatan dsb) yg umum diturut atau dijalankan mulai sejak jaman dulu ; langkah (perbuatan dsb) yg udah jadi adat ; bentuk ide kebudayaan yg terdiri atas nilai-nilai budaya, etika, hukum, serta peraturan yg satu dng yang lain terkait jadi satu sistim. Dikarenakan makna Kebiasaan yang udah diserap kedalam Bhs Indonesia jadi adat maka makna hukum etika sanggup disamakan dengan hukum adat.
Tetapi menurut Van Dijk, kurang pas apabila hukum etika disebut buat hukum adat. Menurut dia hukum adat yaitu kompleks ketentuan hukum yang muncul lantaran adat artinya demikianlah lamanya orang dapat bertingkah laris menurut satu langkah khusus makanya lahir satu ketentuan yang di terima serta juga di inginkan oleh warga. Jadi, menurut Van Dijk, hukum etika serta hukum adat itu mempunyai ketidaksamaan.
Sedang menurut Soejono Soekanto, hukum etika hakikatnya adalah hukum adat, tetapi adat yang punya akhibat hukum (das sein das sollen). 5Berbeda dengan adat (dalam makna umum), adat sebagai aplikasi dari hukum etika yaitu perbuatan-perbuatan yang dijalankan berkali-kali dalam wujud yang sama menuju terhadap Rechtsvaardige Ordening Der Semenleving.
Menurut Ter Haar yang populer dengan teorinya Beslissingenleer (teori ketentuan) 6mengungkapkan bahwasanya hukum etika termasuk semua ketentuan-peraturan yang menjelma di dalam keputusan-keputusan beberapa petinggi hukum yang punya kewibawaan serta dampak, dan di dalam pelaksanaannya berlaku dengan cara dan merta serta dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang dirapikan oleh ketentuan itu. Ketentuan itu sanggup berwujud suatu persengketaan, walau demikian juga di ambil berdasar kerukunan serta musyawarah. Dalam tulisannya Ter Haar juga menjelaskan bahwasanya hukum etika sanggup muncul dari ketentuan warga warga.
Syekh Jalaluddin menuturkan bahwasanya hukum etika pertama-tama adalah persambungan tali pada dahulu dengan selanjutnya, pada pihak terdapatnya atau tiadanya yang di lihat dari hal yang dijalankan berkali-kali. Hukum etika tak terdapat pada momen itu akan tetapi pada apa yg tidak terdaftar dibelakang momen itu, tengah yg tidak terdaftar itu yaitu keputusan kewajiban yang ada dibelakang fakta-fakta yang menuntuk bertautnya satu momen dengan momen lain


Demokrasi Moderen menurut pengertian aslinya merupakan wujud pemerintahan yg di dalamnya banyak ketentuan pemerintah atau di belakang kebijakan yg menyebabkan ketentuan itu lahir dari nada paling banyak yaitu dari sebagian besar di pemerintahan atau di belakang kebijakan yg menyebabkan ketentuan itu lahir dari nada paling banyak, yaitu dari sebagian besar di pemerintahan (consent of a majority of adult governed). 

Akan tetapi batasan rencanatual yg enteng difahami berkenaan “demokrasi” merupakan, satu sistem dari sistem penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan satu negara yg dilakukan dari rakyat, oleh rakyat serta untuk rakyat. 

Lagi tengah batasan operasional dari “demokrasi” merupakan, bagaimana indikator demokrasi jalan seperti tentunya. Serta itu mampu di ketahui dengan mengukur serta mempertanyakan indikator demokrasi itu, seperti : 1. Tingkat sehat tidaknya penyelenggaraan Pemilu ; 2. Mengenai sehat tidaknya bangsa ini atau tokoh-tokoh politik dalam bermusyawarah (negosiasi) ; 3. Mengenai sehat tidaknya partisipasi rakyat dalam memengaruhi kebijakan umum satu Pemerintahan ; 4. Mengenai sehat tidaknya hak-hak wakil rakyat digunakan dalam mengkontrol jalannya pemerintahan, seperti : hak angket, hak anggaran, hak interplasi, hak amandemen serta hak-hak yang lain. 

Buat mengukur satu negara demokratis atau tdk, perlu diukur dari batasan atau pengertian operasi berkenaan demokrasi, tidak dari pengertian rencana dari demokrasi itu. Telah jadi fakta peristiwa demokrasi di Indonesia yg ada sejauh ini terasanya jauh dari ruh atau tondi dari demokrasi tersebut. Hal semacam ini mampu di ketahui dari : 1. Partisipasi rakyat mampu dibeli dengan duit ; 2. Pemilu dari zaman kemasa penuh dengan kecurangan ; 3. Pamer kebolehan massa jadi kebanggaan dari banyak partai-partai politik untuk lakukan dorongan-tekanan ; 4. Selagi bangsa ini atau tokoh-tokokh politik tidak sama pendapat didalam bermusyawarah atau bernegosiasi maka ketidaksamaan itu jadi bibit permusuhan ; 5. hak-hak DPR sbg mekanisme kontrol pada Pemerintah tdk jalan seperti tentunya ; 6. Impian jadi anggota Legislatif tdk diragukan apakah didasarkan pada Nasionalisme yg memiliki tujuan bakal memperjuangkan dambaan bangsa ini seperti ada didalam alinea ke IV Pembukaan UUD 1945 ; Impian bangsa serta Nasionalisme inilah yang wajib diperjuangkan serta ditegakkan banyak sang Caleg andaikata ia selanjutnya jadi anggota Legislatif di Parlemen. Dan seperti kita kenali biasanya dari anak bangsa ini mau jadi anggota legislatif hanyalah mencari prestige atau gengsi sosial, jadi biasanya dari mereka sesudah kebolehan serta modal dikerahkan sang Caleg sebatas untuk jadi anggota legislatif andaikata tidak sukses pasti banyak juga yg menanggung derita stress bahkan juga sakit jiwa. Tdk terlalu berlebih bila iman serta taqwa banyak calon pemimpin bangsa ini butuh diragukan atau bisa saja langkah memikirkan bangsa ini memanglah udah pada sakit, jadi tdk faham bagaimana kita hidup berbangsa serta bernegara, bisa saja juga tdk faham bahwasanya turut dalam partai politik sebetulnya membawa misi ideologi yang wajib diperjuangkan untuk buat bangsa ini bermartabat. Bahkan juga bisa saja juga kita tak akan punyai ikatan batin sbg suatu bangsa yg besar atau juga kita udah kehilangan jejak bagaimana menghormati peristiwa baik dan mulia perjuangan bangsa ini dari terhina karena penjajahan jadi bangsa yg merdeka yg seluruhnya itu dibayar dengan darah, nyawa serta air mata. 
Akan tetapi dalam sistem itu seluruhnya perlu ditunaikan lewat Penegakan Hukum Yang Baik serta terdapatnya Sumber Daya Manusia dalam penegakan hukum (Law Enforcement) yg diiringi ada kesadaran semua rakyat bangsa Indonesia selalu untuk patuh dengan hukum terlebih dalam pesta demokrasi. Fakta yg ada merupakan, bangsa ini miskin pendidikan, miskin partisipasi politik lantaran hak suaranya sudah dibeli, miskin keamanan serta kebebasan dalam kehidupan rukun berdampingan serta miskin keadilan dan kepastian hukum dalam tiap-tiap penyelenggaraan Pemilu. Rakyat yg miskin tidaklah hal yg ideal untuk di ajak berdemokrasi terlebih ditengah carut-marutnya penegakan hukum, maka dalam kondisi seperti ini kemungkinannya kecil maksud negara Indonesia mampu terwujud dengan baik, kemungkinannya kecil demokrasi serta pemilu jalan mulus tidak adanya kecurangan. Bahkan juga pembangunan condong beresiko sebaliknya yakni buat rakyat jadi lebih miskin, mengakibatkan kerusakan sistem serta perilaku sosial serta mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup dan merajalelanya budaya korupsi yg jadi lebih susah di cegah. Tidakkah fakta yg ada, di mana Indonesia di kenal sbg suatu negara dengan Sumber Daya Alam (SDA) yg melimpah, akan tetapi rakyatnya miskin ditengah-tengah kekayaannya. Ironis!! 


PERKEMBANGAN demokrasi prosedural di Indonesia sedemikian rupa melesatnya sejak mulai 1998. Liberalisasi politik ada serta merombak tatanan serta peraturan main politik lama. Konsekwensi yg gak sanggup dibendung dari liberalisasi politik itu misalnya berubahnya aturan penentuan Presiden, buat pucuk paling tinggi atau kepala pemerintahan serta negara. Demokrasi penentuan Presiden (Pilpres) yg diawal mulanya cukup di kerjakan didalam ruang, dengan pendekatan perwakilan, dirombak jadi demokrasi Pilpres luar ruang dengan melibatkan rakyat dengan cara segera dalam sistem penentuannya. Pergantian sedemikian bisa saja sehabis selesainya amandemen ke-4 Undang Undang Basic 1945, pada 2002. 
Nampaknya pergantian itu menjadi satu revolusi, mendasar serta cepat, di mana sudah dipraktikkan pada Pilpres 2004. Pengalaman pertama Pilpres itu sudah memperkaya khazanah demokrasi politik mutahir di Indonesia. Semestinya pilihan Pilpres segera membawa beberapa konsekwensi. Rakyat terlibat segera dalam ritual Pilpres limatahunan, serta terhadap mereka diberikan peluang buat tentukan pilihan serta atau menghukum kandidat yg gak layak lagi di ambil. Rakyat menjadi penentu segera. Serta inilah pengejawantahan atas hakikat demokrasi Pilpres kita. 
Dengan cara tehnis, Pilpres di Indonesia tidak sama dengan yg ditunaikan di negeri demokrasi paling besar ke-2 sehabis India dari sisi jumlah penduduknya, ialah Amerika Serikat. Di Indonesia, satu nada benar-benar tentukan kemenangan kandidat, lantaran sistimny gak berjenjang. Lain dengan di AS yg menentukan electoral college, serta siapa kandidat yg banyak mengumpulkannya, maka dialah yg menang, biarpun kemungkinan jumlah popular vote-nya semakin besar. Ketidaksamaan inilah yg bikin Indonesia di kira lebih tambah maju dengan cara tehnis dalam menanggung mutu nada. 
Filosofi basic kenapa Presiden di ambil rakyat dengan cara segera tentang dengan kritik, atau bahkan juga antitesis dari praktik-praktik kekuasaan mutlak di saat lalu. Legitimasi demokrasi menjadi satu pengabsahan kekuasaan yg disetujui rakyat. Penguasa di negeri demokrasi, bukan hanya penguasa mutlak, namun menjadi penguasa yg legitimate serta terbatas kewenangannya. Yang membatasi merupakan konstitusi yg demokratis. Karena itu demokrasi politik tetap sama dengan demokrasi konstitusional. 
Pilpres 2009 sebentar lagi di gelar, serta bahkan juga ini konstelasi politik udah mulai tergambar. Yang pasti hadirnya beberapa kandidat yg bakal berlaga diusung oleh partai-partai politik. Ketentuannya support 25 prosen nada Pemilu legislatif diawal mulanya, atau 20 prosen jumlah kursi di DPR. Sayang calon perorangan (mandiri) belum diberlakukan, walaupun sebenarnya hal semacam itu udah dipraktikkan pada penentuan kepala desa (Pilkada). Tetapi, kendati Mahkamah Konstitusi menampik judicial review golongan pro-Capres mandiri, wacana ini belum lekas dilupakan. Praktek demokrasi Pilpres ke depan, semestinya bakal lebih prima lagi. 
Hakikat demokrasi politik, terhitung juga Pilpres merupakan memaksimalkan jaminan atas hak-hak politik rakyat, yg notabene menjadi hak asasi manusia (civil and political rights). Banyak pemimpin yg di beri amanah, atau kandidat yg dipilih semestinya bakal sungguh-sungguh mobilisasi pekerjaan sesuai sama kewenangannya

DEMOKRATISASI PEMILIHAN PRESIDEN

Bertepatan dengan dengan rubuhnya tembok kekuasaan rezim Orde Baru, mulai sejak timbulnya gelombang inspirasi ke arah reformasi menyeluruh dalam kehidupan kenegaraan kita, berkembang juga wacana yang mendorong pemikiran ke arah aplikasi sistim penentuan Presiden dengan cara segera. Masukan yang tumbuh serta berkembang menuntut di jalankannya penentuan Presiden dengan cara segera itu, pada hakikatnya, memperjuangkan inspirasi supaya rakyat yang berdaulat nyata-nyata sanggup memakai haknya untuk menentukan sendiri siapa yang bakal jadi Presiden.
Dalam negara demokrasi, penentuan mengenai siapa yang akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden merupakan sesuatu yang sangat penting bagi rakyat. Apalagi, dalam masyarakat Indonesia yang sebagian terbesar masih dipengaruhi oleh kultur yang paternalistik, figur atau ketokohan seorang merupakan sesuatu yang sangat penting dan menentukan derajat kepercayaan rakyat terhadap institusi pemerintahan secara keseluruhan. Karena itu, ada tidaknya perbaikan atau perubahan dalam tata cara menentukan siapa yang akan menjadi Presiden di negara kita, turut menentukan dan mempengaruhi persepsi masyarakat mengenai ada tidaknya perbaikan yang dihasilkan oleh pelaksanaan agenda reformasi nasional 3 tahun terakhir.



Bagi para ahli dan praktisi, puncuk simbolik perubahan sistem ketatanegaraan kita setidak-tidaknya berkaitan dengan dua hal, yaitu: konstitusi dan lembaga kepresidenan. UUD 1945 yang selama Orde Baru cenderung disakralkan, sekarang sudah mengalami proses desakralisasi melalui perubahan pertama yang dilakukan dalam Sidang Umum MPR pada bulan Nopember 1999 yang lalu[2]. Akan tetapi, bagi rakyat banyak, UUD 1945 itu merupakan simbol yang terlalu abstrak dan tak terjangkau. Yang lebih penting bagi rakyat banyak adalah sistem kepresidenan yang secara kasat mata dapat dilihat sendiri oleh mereka, baik mengenai kepribadiannya, intelektualitas dan kemampuan manajerialnya, serta ketulusan dan kinerja kepemimpinannya, yang dapat memberikan harapan dan optimisme, dan sekaligus mengundang kepercayaan dari seluruh rakyat untuk memberikan dukungan.



Sekarang figur Presiden memang sudah berganti. Akan tetapi, yang dibutuhkan bukanlah sekedar pergantian orang, melainkan perbaikan sistemnya sehingga seluruh lapisan dan golongan rakyat dapat benar-benar ikut terlibat dalam menjatuhkan pilihan. Oleh karena itu, proses demokratisasi yang tengah berlangsung luas sekarang ini, masih tetap dianggap sebagai masa transisi menuju demokrasi yang lebih sejati yang ditandai oleh perbaikan dalam sistem pengisian jabatan lembaga kepresidenan. Untuk sementara ini, rakyat memang masih menerima kenyataan bahwa untuk menentukan siapa yang akan menjadi Presiden, mereka cukup menonton melalui layar kaca, menyaksikan permainan politik para wakil mereka di MPR. Rakyat banyak harus menerima kenyataan bahwa mengenai siapa yang akan menjadi pemimpin mereka itu, cukup ditentukan oleh kalangan elite saja. Akan tetapi, semua itu haruslah dilihat sebagai masa transisi menuju penerapan demokrasi yang sejati, yang konkritnya secara simbolik dicerminkan oleh kesempatan bagi segenap rakyat untuk menentukan sendiri siapa yang akan menjadi Presiden.



Tidak lama sesudah Sidang Umum MPR selesai digelar pada bulan Nopember 1999, banyak orang awam bertanya mengapa kok Amin Rais yang terpilih menjadi Ketua MPR, padahal Partai Amanah Nasional yang dipimpinnya mendapat suara hanya sedikit dalam Pemilu dan hanya menempati posisi kelima dalam urutan perolehan suara, dan mengapa Gus Dur terpilih menjadi Presiden, padahal Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikannya hanya mendapat kedudukan nomor nomor empat dalam urutan perolehan suara, mengapa bukan Megawati yang jelas-jelas partainya mendapat kepercayaan paling besar dari rakyat. Jawabannya tentu sederhana, yaitu begitulah panggung demokrasi yang dipermainkan oleh elite politik. Karena itu, untuk masa mendatang, tidak semua keputusan yang sangat penting dapat diserahkan begitu saja kepada elite politik. Khusus untuk menentukan siapa pemimpin tertinggi untuk mengelola pemerintahan dan tugas-tugas pembangunan, sebaiknya, langsung ditentukan oleh rakyat sendiri, sehingga dapat dirasakan adanya perbaikan dari sistem yang berlaku sekarang. Untuk itulah, maka tahap menuju penerapan sistem pemilihan Presiden secara langsung, terus harus diperjuangkan, dan perangkat konstitusional untuk penerapan sistem pemilihan langsung itu harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.



Memang, sering dikemukakan adanya argumen bahwa untuk menerapkan sistem pemilihan langsung itu, dibutuhkan persiapan sosial. Misalnya, dipersoalkan sejauhmana rakyat Indonesia di seluruh tanah air benar-benar siap, mengingat tingkat pendidikan yang masih rendah, tingkat kohesi sosial yang dianggap masih sangat rentan, dan kultur perbedaan yang belum berkembang. Penerapan sistem pemilihan langsung dikhawatirkan justru akan memicu disintegrasi sosial yang luas. Argumen seperti ini jelas sangat merendahkan dan tidak menghargai rakyat sendiri yang sebenarnya justru merupakan pemilik kedaulatan yang sah di negaranya sendiri. Sejak dulu, argumen seperti juga sering dipakai orang untuk menolak ide penerapan sistem distrik dalam pemilihan umum. Sungguh kasihan rakyat kita terus menerus dianggap tidak mampu, meskipun kita telah merdeka lebih dari setengah abad.



Di banyak negara, termasuk di Malaysia yang serumpun dengan bangsa Indonesia, sistem distrik dalam pemilu juga diterapkan dengan baik. Melalui sistem distrik ini, rakyat secara langsung memilih sendiri tokoh yang dipercayai untuk menjadi wakil mereka di parlemen[3]. Atas dasar logika sistem ini, maka sistem pemilihan Presiden secara langsung dapat kita terapkan di Indonesia, sekurang-kurangnya mendekati sistem pemilihan langsung. Di Amerika Serikat, misalnya, rakyat memilih ‘electoral college’ yang secara khusus dipilih untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Sistem ini dimaksudkan untuk efisiensi atau menyederhanakan dan memudahkan pelaksanaan pengambilan suara dan penghitungan suara.



Memang perlu dipersiapkan bahwa perubahan ke arah pemilihan Presiden secara langsung itu harus dilakukan dengan mempertimbangkan banyak aspek yang terkait. Pertama, perubahan sistem itu membawa implikasi yang mendasar terhadap sistem pertanggungjawaban Presiden. Kedua, dengan perubahan sistem pertanggungjawaban itu, maka keberadaan GBHN sebagaimana dipahami selama ini terpaksa harus mengalami penyesuaian pula. Ketiga, penerapan sistem pemilihan Presiden itu dikhawatirkan pula oleh sebagaian orang akan mempengaruhi secara mendasar mengenai perumusan tugas dan fungsi MPR sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat dan sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Bahkan, hakikat dan eksistensi MPR itu sendiri sebagai Lembaga Tertinggi Negara yang merupakan penjelmaan kedaulatan seluruh rakyat Indonesia, dikhawatirkan akan terpaksa hilang dari sistem dan struktur ketatanegaraan Republik Indonesia.
PEMILIHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MASA DEPAN



Mesti diakui tak kebanyakan orang sepakat dengan inspirasi penentuan Presiden dengan cara segera. Keberatan pertama yg umum di cemaskan yaitu kesiapan mental penduduk kita yg di anggap belum masak buat nikmati peluang beradu dengan cara terbuka buat mempromosikan serta menentukan sendiri calon idamannya, dan bersiap buat menang dengan cara santun serta beradab mau pun buat kalah dengan cara jantan serta terhormat. Menurut pandangan ini, proses penentuan segera butuh disiapkan dengan cara gradual. Warga kita saat ini tetap ada dalam kondisi krisis dengan tingkat kohesi yg amat rendah serta rawan sekali pada isu-isu disintegratif. Hambatan atau keberatan yg bersifatsosio-kultural ini kerap jadikan argumen buat menampik gagasan penentuan segera. Karenanya, proses penentuan segera itu baiknya baru di mulai paling cepat pada pemilu th. 2008 yg akan tiba. Di samping itu, menurut pandangan ini, semua feature yg diperlukan buat proses penentuan segera butuh disiapkan lebih dahulu, serta kemudian tetap wajib disosialisasikan dengan cara luas hingga rakyat banyak mengetahui benar sistem proses penentuan Presiden dengan cara segera itu.



Seluruhnya alasan sosio-kulutral yg bernada pesimistis seperti ini pada pokoknya mendasarkan diri pada anggapan yg amat negatif. Rakyat tetap diibaratkan tak sanggup berlaku demokratis. Sepanjang Orde Baru, sikap negatif seperti inilah yg tetap di kembangkan, makanya ide-ide seperti penentuan umum dengan system distrik tetap tidak sukses ditempatkan dalam praktik. Walaupun sebenarnya, Pemilu 1955 sanggup di katakan berhasil berikan peluang pada rakyat buat menentukan tokoh-tokoh seperti dalam penentuan segera. Karenanya, dalam rencana reformasi saat ini, sikap negatif seperti itu wajib dirubah jadi positif. Misalnya tetap di anggap tak sanggup, maka tidak lagi sempat ada peluang untuk rakyat buat belajar jadi sanggup. Asumsi-asumsi pesimistis seperti ini bahkan beri warna ramalan-ramalan beberapa ahli berkaitan proses Pemilu th. 1999 yg lalu yg digambarkan ‘pasti’ dapat berdarah. Namun, nyata-nyatanya seluruhnya ramalan itu tak dapat dibuktikan, dikarenakan benar-benar rakyat nyata nya siap buat dengan cara aktif berdemokrasi. Bahkan juga tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu 1999 sanggup di katakan amat tinggi seandainya ketimbang dengan kegalauan yg berkembang diawal mulanya di kelompok beberapa peramal pesimistis itu.



Pesimisme sosio-kultural ini bisa diperkuat oleh ketakutan bahwasanya penentuan segera itu dapat menambah suhu konflik dalam penduduk, baik di kota-kota ataupun lebih-lebih di desa-desa sbg gara-gara persaingan buat menokohkan calon-calon presiden yg berlainan di kelompok penduduk. Lebih-lebih, beberapa besar penduduk kita hidup di daerah perdesaan yg amat luas serta bahkan juga banyak salah satunya yg ada di pelosok-pelosok pulau yg gampang dimanipulasikan oleh elite. Pada keberatan seperti, benar-benar bisa pula ditempuh jalan tengah, yakni dengan mengaplikasikan system Amerika Serikat lewat penentuan oleh ‘electoral college’ yg terus mengesankan sistem penentuan yg berbentuk segera. Sebab itu, yg di pilih segera oleh rakyat tidaklah calon Presiden, akan tetapi cukup anggota Dewan Pemilih saja yg didapatinya sbg kampanyewan satu diantara calon Presiden.



Proses penentuan anggota dewan ini, sanggup diselenggarakan bertepatan waktunya dengan penentuan umum buat menentukan anggota DPR/MPR serta DPRD. Semisal, tergantung bahwasanya anggota ‘Dewan Pemilih Presiden’ itu sejumlah 100 orang anggota yg dipusatkan di tiap tiap ibukota kabupaten serta kotamadya. Bila, contohnya, jumlah ibukota kabupaten serta kotamadya di semua Indonesia ada 350, maka 350 x 100 = 35. 000 orang pemilih. Namun demikian, perhitungan pada bagian penentuan Presiden serta Wakil Presiden tak dihitung dengan cara seimbang, tetapi menurut jumlah daerah dewan penentuan yang bisa dimenangkan oleh calon Presiden. Penentuan oleh Dewan Pemilih sanggup diselenggarakan serentak di semua ibukota kabupaten serta kotamadya, contohnya, sekian hari sehabis penentuan umum selesai akan tetapi sebelum akan hasil Penentuan Umum buat isi keanggotaan DPR/MPR serta DPRD usai dihitung. Sebab itu, perhitungan hasil Pemilu tidak lagi memengaruhi sistem penentuan Presiden serta Wakil Presiden oleh beberapa anggota Dewan Pemilih.



Keberatan ke dua yaitu keberatan yg bersifatsosial-ekonomis, dengan mengaitkan proses penentuan segera dengan ongkos yg mahal. Walaupun sebenarnya, situasi kehidupan rakyat yg tetap diliputi ada problem dikarenakan oleh siuasi krisis ekonomi yg hingga saat ini belum juga sembuh seutuhnya. Tetapi sekian, memang, proses penentuan Presiden serta Wakil Presiden, baik dengan cara segera ataupun lewat ‘dewan pemilih’ sanggup dijalankan bertepatan dengan Penentuan Umum buat menentukan anggota DPR/MPR seperti yg di jabarkan diatas. Sebab itu, keberatan ke dua ini dapat dipecahkan tiada banyak ada problem. Biarpun yg di pilih yaitu penentuan lewat dewan pemilih, pelaksanaannya di tingkat ibukota kabupaten serta kotamadya juga tidaklah susah serta mengonsumsi terlampau banyak ongkos. Lebih-lebih, buat bangun system kepemimpinan yg betul-betul beroleh keyakinan rakyat, berasa tidaklah pas buat membuat penambahan ongkos yg cuma sedikit sbg rintangan yg terlampau dibesar-besarkan serta halangi kesungguhan kita mengaplikasikan system demokrasi yg sejati.



Keberatan ketiga bersangkutan dengan ketakutan orang pada kemungkinan terpilihnya seseorang tokoh yg di anggap tak penuhi ketentuan kualitatif akan tetapi konon miliki karisma mengagumkan di mata rakyat biasanya. Misalnya system yg ditempatkan yaitu penentuan segera, dikhawatirkan tokoh seperti tersebut yg malahan dapat dipilih. Pandangan ini sanggup dinilai amat ‘defensif’ serta terlampau dihinggapi oleh perasaan ‘inferiority complex’ yg terlalu berlebih. Hasil proses penentuan umum yg lalu malahan sanggup ditafsirkan sebaliknya bahwasanya tokoh yg ditakutkan itu tambah tak memperoleh nada sebagian besar mutlak sbg prasyarat yg objektif buat memperlihatkan tingkat support segera dari rakyat. Lebih-lebih dalam pemilu yg akan tiba, posisi psikologis tokoh-tokoh mungkin buat duduki jabatan Presiden lain waktu telah alami pergantian mendasar. Seluruhnya tokoh-tokoh utama yg jaman sekarang ada diatas panggung politik lagi tengah hadapi ujian berat dihadapan rakyat dengan kemungkinan merubah peta support itu dalam penentuan umum yg akan tiba.



Keberatan ke empat menyangkut keperluan politis elite partai politik atau elite penduduk yg terasa tak pasti berkaitan tingkat support penduduknya sendiri. Banyak diantara beberapa tokoh politik menampik mau pun mengusahakan menghindar dari kemungkinan diberlakukannya mekanisme penentuan segera dikarenakan perasaan tak aman mau pun dikarenakan didorong oleh keperluan buat mengamankan posisinya sendiri. Saya menduga tokoh-tokoh seperti ini amat banyak jumlahnya, yg cuma sanggup ‘survive’ lewat mekanisme permainan politik yg berbentuk elitis. Dalam pandangan ini system penentuan oleh MPR saat ini telah baik serta demokratis, makanya tak perlu dirubah dengan mekanisme baru yg belum semestinya tambah baik

Beberapa waktu terakhir ini kita tengah melihat tontonan yang mempertunjukkan dengan gamblang begitu norma, sprotivitas, kesetiaan, serta harga diri penduduk kita telah ada di titik nadir. Mereka beberapa elite yang selayaknya sanggup mengelola ketidaksamaan makanya jadi kerjasama untuk duanya sama bangun bangsa tambah tiada malu-malu melaksanakan hal apapun buat memperoleh kekuasaan.
Pengelola siara  tv pasti menaruh rekaman beberapa tokoh penduduk kita, yakni selagi mempertontonkan retorikanya dalam mengemukakan prinsip serta sikap mereka dalam usaha memperoleh simpati serta keyakinan rakyat selagi musim kampanye pemilu legislatif tempo hari. Cuma sebentar sesudah pemilu legislatif berjalan, di tv yang sama kita menyaksikan prinsip serta sikap yang diungkapkan dengan gegap gempita pada mulanya sudah beralih keseluruhan. Konstelasi politik jadi tontonan akrobat yang bikin miris rakyat. Bila cuma dalam sekian waktu mereka dapat beralih keseluruhan, bagaimana dapat memberikan keyakinan kedisiplinan mereka dalam penuhi janji-janji selagi berkuasa salama lima th. kelak?
Pada jaman dimana reality show jadi diantara komoditas utama pertelevisian kita, rekaman-rekaman before and after dapat dihidangkan kembali serta bakal jadi tontonan “menarik”. Reality show politik ini kemungkinan gak mengharu biru penontonnya seperti suguhan reality show yang lain, tapi jadi arena evaluasi dan cermin besar bangsa ini yang telah sekian memprihatinkan.


Ditengah situasi bangsa yg sarat permasalahankhususnya korupsi yg  menggurita di seluruhnya lini,Indonesia diperlukan pemimpin yg jujur serta pengindan bisa      melayani. Walaupun ada pada pucuk paling tinggi kekuasaan, jiwa melayani rakyat merupakan elemen kepemimpinan paling mendasar. Ia tak akan mementingkan dirinya atau group. Sebaliknya, ia ikhlas berkorban. Bukan hanya buat keluarga, partai atau group bisnisnya, namun buat keperluan rakyat. 
Pada Pilpres 2014 kesempatan ini, pembawaan serta ketentuan kepemimpinan terlihat lebih mengemuka dibandingkan pemilu di awalnya. Pada Pilpres 2004 atau 2009, ketidaksamaan ketentuan serta sifat kepemimpinan antarkandidat tdk terlampau menonjol. Gossip ketegasan memimpin, jujur serta bersih, relatif tdk keluar ke permukaan. 
Pada dua pemilu paling akhirmalahan gossip gender serta kesukuan, Jawa-non-Jawa, tambah lebih mengemuka. Megawati buat di antara capres masa itu jadi pihak yg paling banyak beroleh “serangan”. Serangkaian warga juga keluarkan maklumat, dengan paket ajaran agama, biar umat tdk pilih wanita buat pemimpin. Latar belakang pendidikan Ketua Umum PDIP itu lantas diutak-atik. 
Waktu iniumum menyoroti pembawaan kepemimpinan calon presiden (capres) yg tengah beradu, Prabowo Subianto atau Joko Widodo. Amat kemungkinan perhatian terhadap ketentuan kepemimpinan ini dikarenakan ke dua sosok capres dengan cara kasat mata amat tidak serupa. Prabowo dimaksud lebih cerdas serta tegas, dan Jokowi dimisalkan lebih jujur, bersih, serta dekat dengan rakyat. Bermacam instansi survey turut menajamkan   ketidaksamaan itu lewat ukuran persentase dari jajak pendapat. 

Pada prinsipnya, ketidaksamaan  keduanya menjadi hal lumrah sepanjang tdk dimanipulasi. Yg butuh diwaspadai merupakan ketidaksamaan ke dua sosok dalam kaitan kepemimpinan itu kemungkinan berencana diembuskan buat menjatuhkan yg satu serta mengangkat  yg lain. 
Perlu diakui, pilpres th. ini sarat kampanye negatif dibanding dengan pemilu di awalnya. Beriringan dengan jadi lebih maraknya media sosial serta komunikasi lewat internet, kampanye negatif serta black campaign lantas tambah masif. 
Apa yg bagus, baik serta benar pada satu sosok kandidat dapat jadi tidak baiktidak baikserta salah. Demikianlah sebaliknya. Maka itu, mereka yg melek internet perlu lebih selektif dalam menyaring kabar. Dunia maya udah berikan beraneka kabar yg condong mampu mengaburkan gambar atau fakta memangterhitung bab kejujuran, kecerdasan, ketegasan, bersih diri, serta ketentuan lain seseorang pemimpin. Media masa miliki peran terutama mengedukasi warga biar tdk ringan dikelabui dengan semua usaha bangun citra diri seseorang capres. 

Diamkan fakta yg berkata. Sosok ke dua capres mampu dengan enteng kelihatan dari rekam jejak. Track record Prabowo dapat di lihat dari perjalanan kariernya di TNI. Demikianlah juga jejak Jokowi dapat di lihat kala ia menjabat wali kota Solo dua periode serta kala menjabat gubernur DKI Jakarta satu 1/2 th. paling akhir
Ketegasan, kecerdasan, kejujuran serta latar belakang bersih dari permasalahan hokum tdk dating tiba-tiba. Umum perlu pintar mencermati bahwasanya seluruhnya tadi tdk dapat   diukur dari apa yg kelihatan dengan cara fisik. Ketegasan bukan hanya diukur dari intonasi nada yg meledak-ledak. Ketegasan perlu dinilai dari kedisiplinan dalam memastikan hingga pada proses ketetapan

Negara ini memiliki banyak ketetapan bagus yg ditelorkan dalam undang-undang sampai ketetapan pelaksanaannya. Akan tetapi, eksekusi dari ketetapan itu amat lemah. Pemimpin yg tegas merupakan mereka yg menegaskan bahwasanya seribu satu peraturan yg ada bukan macan ompong semata. 

Ketegasan bukan hanya memercayakan kapabilitas dengan cara fisik, akan tetapi meniadakan keteguhan dalam berprinsip. Kedekatan dengan rakyat gak cuma dapat di lihat dari segi banyak berdialog dengan rakyat, namun bagaimana mendengar serta mendalami permasalahan yg dihadapi rakyat. Demikianlah juga ukuran-ukuran berkait kecerdasan, kejujuran, dan sosok bersih seseorang pemimpin, umum perlu pintar menilai terhitung tdk terbawa pada pesan kampanye hitam.